Selasa, 15 Juli 2014

Interaksi Obat (Bisoprolol) dengan Reseptor

Interaksi obat dan reseptor merupakan salah satu bahasan dalam farmakodinamika. Secara umum ada dua jenis mekanisme kerja obat, yakni mekanisme aksi spesifik (khas) dan non-spesifik. Contoh mekanisme obat non spesifik adalah aksi yang ditimbulkan oleh Al(OH)3 dan Mg(OH)2. Selain memberikan efek pada lambung yakni dengan menurunkan asam lambung dengan cara mengikat HCl sehingga terbentuk AlCl3 dan MgCl2. Mekanisme aksi senyawa tersebut dikatakan tidak spesifik karena mekanisme terhadap asam yang ditimbulkan tidak hanya dapat terjadi di manapun termasuk di luar tubuh. Sedangkan mekanisme aksispesifik adalah mekanisme dimana Obat akan  menimbulkan efek apabila  bekerja pada molekul protein spesifik berupa reseptor dapat menstimulasi aksi fisiologi tubuh tertentu. Mekanisme aksi ini  dapat dicontohkan misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta1 yang selanjutnya akan memberikan efek diuretic.
Pada tugas ini akan dibahas mengenai mekanisme obat yang speseifik yakni interaksi obat dan reseptor. Perlu kita ketahui bahwa reseptor merupakan Suatu makromolekul seluler yang secara spesifik dan langsung mampu berikatan dengan ligan  untuk memicu signaling kimia antar maupun dalam sel sehingga menimbulkan efek menimbulkan efek. Ada beberapa fungsi reseptor dalam tubuh, yakni diantaranya :
Sedangkan yang dimaksud dengan ligan adalah molekul spesifik yang mampu berikatan dengan reseptor untuk dapat memberikan efek tertentu. Ada beberapa senyawa maupun molekul baik yang berupa senyawa endogen maupun eksogen yang dapat bertindak sebagai ligan, yakni antara lain :
·     Hormones   : senyawa yang dihasilkan oleh kelenjar eksokrin dan disekresikan melalui peredaran darah menuju sel target yang jauh (contoh : insulin, andogen)
·     Autokrin     : hormon yang beraksi lokal (contoh : prostaglandin)
·     Neurotransmitter   : senyawa yang dilepaskan oleh ujung saraf sebagi respon dari depolarisasi (contoh : asetilkolin)
·     Sitokin                    : merupakan  ligan yang diproduksi oleh sel-sel pada sistem imunitas. Targetnya bisa jauh atau dekat (contoh : interferons, interleukins)
·     Membrane-bound ligands  :  terdapat pada permukaan sel, mengikat pada reseptor komplementer sel yang lain sehingga menjembatani interaksi antar sel
·     Obat /bahan kimia : merupakan senyawa yang dipaparkan dari luar. dengan tujuan untuk memberikan efek tertentu bagi tubuh.

Obat yang dapat bereaksi dan membentuk kompleks ikatan dengan reseptor selanjutnya akan menimbulkan efek fisiologis melalui beberapa tipe mekanisme antara lain (1) pengendalian penutupan dan pembukaan ion channels, (2) memicu rangkaian proses biokimiawi terkait protein-G, (3) menstimulasi kinase dan (4) mempengaruhi pengaturan transkripsi pada sintesis protein dalam sel.

Mekanisme pengendalian chanel ion. Reseptor yang terkait dengan mekanisme pengaturan ion disebut juga ionotropicresepto. Contoh ionotropic reseptor diantaranya adalah reseptor GABA yang terkait dengan pengaturan ion Cl-, dan reseptor N yang terkait dengan pengendalian chanel ion Na+. Kompleks yang terbentuk dari ligan dan reseptor GABA akan mempengaruhi lamanya waktu pembukaan chanel ion Cl-, sehingga nantinya akan mempengaruhi banyaknya konsentrasi ion Cl-.

Reseptor yang terkat dengan protein G. resepor yang memiliki mekanisme kerja seperti ini dikenal dengan sebagai reseptor metabotropok, contonya adalah reseptor alpha,  dan reseptor beta. Contoh, apabila terjadi stimulasi pada reseptor alpha, maka akan mengaktivasi osfolipase untuk menghasilkan inosit triphosphat yang akan menimbukan  pelepasan ion Ca2+ sehingga memicu terjadinya kontraksi otot polos.

Reseptor yang cara kerjanya terkait dengan kinase (kinase linked receptor). Kompleks yang terbentuk antara ligan dan resetor ini akan menstimulasi mengaktivasi enzim kinase karena sisi intraselular merupakan enzim sitoplasmik (berupa protein tyrosine kinase). Beberapa contoh reseptor dengan mekanisme kerja seperti ini antara lain insulin, interferon, PDGF (platelet derived growth factor), dan EGF (epidermal growth factor.

reseptor nuklear atau intracellular merupakan cytosolic receptor sebagai sasaran (tempat aksi) zat atau obat yang bersifat lipofilik. Translasi RNA ke dalam protein dikendalikan oleh seperangkat molekul lain yang dikenal sebagai regulator atau faktor transkripsi (transcription regulators or factors). Contoh obat dengan mekanisme ini adalah hormon steroida . Hormone ini mudah masuk ke dalam sel yang kemudian menstimuli regulataor atau faktor transkripsi ini di dalam sitoplasma atau nukleus. Dengan demikian zat atau obat ini dapat menimbulkan efek pada sintesis protein tertentu yang sintesisnya disandi oleh gena tertentu yang terkode di dalam DNA, misalnya efek anabolik dari steroida tertentu seperti nandrolon.

Interaksi Reseptor Dan Obat Beta Blocker
Satu contoh obat yang akan dijelaskan dengan rinci mengenai interaksinya dengan reseptor hingga menimbulkan aksi dan member efek terapetik adalah bisoprolol. Bisoprolol merupakan obat anti hipertensi golongan  beta blocker. Obat-obat golongan beta blocker sering juga disebut beta-adrenergic blocking agents. Sesuai namanya  ini akan bekerja pada reseptor beta, dan akan menimbulkan efek melalui mekanisme reseptor yang terikat protein-G.
Reseptor beta merupakan jenis reseptor adrenergik yang bersifat peka terhadap isoprenalin. Reseptor ini dibedakan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terdapat di jantung, mata, dan ginjal-ginjal. Sedangkan reseptor Beta-2 ditemukan dalam paru-paru, saluran pencernaan, hati, kandungan (uterus), pembuluh-pembuluh darah, dan otot kerangka. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis.
Beta-2 berfungsi sebagai  bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak. Beta-1 memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung (efek inotrop dan kronotrop). Sedangkan stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi jantung. Pada ginjal, stimulasi reseptor beta-1 menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensinaldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.
Pada penderita hipertensi, penurunan tekanan darah dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan golongan beta blocker yang mekanisme kerjanya antagonis dngan mekanisme kerja reseptor beta. Obat-obat golongan beta blocker akan berikatan dengan reseptor beta-1, dan memberi hambatan pada reseptor tersebut sehingga yang terjadi adalah sebaliknya. Beta blocker Menghambat secara kompetitif  adrenergik NE dan Epi (eksogen dan endogen) pada adrenosptor beta, kontraksi dan denyut jantng menurun dan terjadi penurunan takanan darah.
Obat- obat golongan Betablocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Golongan yang larut lipid Semuanya diabsorbsi dengan baik disaluran cerna, tetapi memiliki bioavailabilitas rendah(>50%). Sehingga  biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari . Eliminasinya melalui metabolisme di hati dan diekresikan di gnijal dalam jumlah yang sedikit (10%). Sedangkan yang larut air tidak mengalami metabolism sehingg seluruhnya dieksresi utuk melalui ginjal. biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Bisoprolol merupakan golongan beta blocker yang memiliki kelarutan di antara keduanya, sehingga di absorbsi baik disaluran cerna dan eliminasi melalui hati dan ginjal.

Refrensi : Beth Gormer, 2007, terj. Diana Lyrawati, 2008

Mengenal Granuomatosa

a.       Defisi
Granuloma merupakan salah satu perwujudan dari salah satu jenis radang kronik yakni granulomatosit. Radang korinis terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak sempurna, bila penyebab jejas menetap, atau bila penyebab ringan timbul berulang-ulang. Dapat pula diakibatkan olaeh reaksi imunologik. Radang kronis merupakan radang yang berlangsung lama yakni berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan yang ditandai dengan histologist sebagai berikut :
1.       Infiltrasi sel mononuclear, yaitu makrofag, monosit, limfosit dan sel plasma.
2.       Kerusakan sel
3.       Penggantian jaringan ikat yang terkena oleh suatu proses yang ditandai oleh proliferasi pembuluh darah(angiogenesis) dan fibrosis.

Granulomatosa merupakan proses radang kronik yang khas terdiri dari sel-sel macrophage yang trakumulasi dan teraktifasi, yang sering mengembang menyerupai sel epithel (disebut epithelioid). Pada granuloma terjadi agregasi makrofag mikroskopis yang berubah menjadi sel-sel epitel seperti dikelilingi oleh  leuokit mononuklear, terutama limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Dalam pewarnaan, sel epiteloid akan terlihat pink pucat, sitoplasma granular dengan batas sel tidak jelas sering muncul untuk bergabung ke dalam satu sama lain. Intinya tidak sepadat limfosit, berbentuk oval atau memanjang, dan dapat menununjukkan lipat dari membran. Granulomas dewasa akan mengembangkan tepi dilampiri fobroblas dan jaringan ikat. Sel ephiteloid sering bergabung untuk membentuk sel raksasa di pinggiran atau kadang-kadang di tengan granulomas. Sel raksasa ini dapat mencapai diameter 40-50 mikrometer, Mereka memiliki massa besar sitoplasma yang mengandung 20 atau lebih dan dapat menjadi langerhans-tipe sel raksasa atau yang lain

b.       Jenis-jenis granulomatosa
Secara umum, ada dua jenis granulomatosa berdasarkan penyebabnya, yakni
1.           Granuloma benda asing: ditandai benda asing yang relative inert, umumnya tidak terjadi nekrosis,  dan adapat disebabkan oleh adanya  bahan sintetik (benang operasi), bedak, asbes, maupun serat yang cukup besar.
Contoh :  adanya serat  yang cukup besar untuk menghalangi fagositosis oleh satu makrofah dan tidak menghasut peradangan atau respon kekebalan tubuh tertentu, Sel epitheloid, membentuk sel raksasa dan muncul ke permukaan untuk membungkus benda asing tersebut. Bahan asing biasanya dapat diidentifikasi tengah Granuloma, terutama jika dilihat dengan cahaya terpolarisasi. 

2.       Granuloma autoimun: dibentuk karena reaksi imun diperantarai sel T terhadap antigen yang sulit di degradasi.  Disebabkan insoluble particle, khususnya mikroba yang dapat menginduksi respon immun. Makrofag  mencaplok partikel  yang tak dapat dihancurkan tersebut sehingga  mengaktifkan T lymphosit membentuk  Epithelioid dan multinucleated giant cell
2.
3.       Ada radang pula granulomatosa yang tidak diketahui sebabnya seperti colitis ulseratif, sarkoidosis.

c.           Penyebab dan Mekanisme Granulomatosa
Granulomatosa berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi :
1.       Granulomatosa benda asing
Merupakan jenis granulomatosa yang disebabkan oleh benda-benda asing (abiotik) seperti benang bedah, asbes, talk, dan lain-lain

2.       Ganulomatosa autoimun
Merupakan jenis granulomatosa yang disebabkan oleh adanya infeksi seperti :
o Infeksi  Mikobakteri: tbc, lepra, virus
o Infeksi treponema: sifilis
o Infeksi jamur: histoplasma
o Infeksi parasit: skistosomiasis

Mekanisme Terbentuknya Granulomatosa
Adanya infeksi yang tak bisa diatasi oleh tubuh, membuat tubuh terus menerus mengeluarkan berbagai antibody dan komplemen untuk menghancurkan antigen tersebut. Hai ini didikuti dengan aktivasi makrofag ke jaringan tersebut. Aktivasi makrofag saat bermigrasi ke daerah yang mengalami peradangan diperlihatkan dalam bentuk ukurannya yang bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktivitas fagositik dan kandungan enzim lisosom yang dimilikinya. Aktivasi ini diinduksi oleh sinyal-sinyal, mencakup sitokin yang diproduksi oleh limfosit-T yang tersensitisasi (IFN γ), endotoksin bakteri, berbagai mediator selama radang akut dan protein matriks ekstrasel seperti fibronektin. Makrofag yang sudah teraktivasi (siap untuk menjalankan proses fagositosis) akan menghasilkan produk antara lain :
-         Protease asam dan protease netral yang merupakan mediator kerusakan jaringan pada peradangan.
-        Komponen komplemen dan faktor koagulasi yang meliputi protein komplemen C1-C5, properdin, faktor koagulasi V dan VIII dan faktor jaringan.
-         Spesies oksigen reaktif dan NO, berfungsi dalam proses fagositosis dan degradasi mikroba.
-         Metabolit asam arakhidonat. Metabolit asam arakhidonat seperti prostaglandin dan leukotrien merupakan mediator dalam proses peradangan.
-         Sitokin seperti IFN α dan β, IL 1, 6 dan 8, faktor nekrosis tumor (TNF α) serta berbagai faktor pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel otot polos, fibroblas dan matriks ekstraselular.

Pada radang kronik, makrofag dapat berakumulasi dan berproliferasi di tempat peradangan. Limfosit teraktivasi akan mengeluarkan IFN- γ yang akan mengaktivasi makrofag. Makrofag teraktivasi, selain bekerja memfagositosis penyebab radang dan mengeluarkan mediator-mediator lain, juga akan mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi limfosit, sehingga dengan demikian akan membentuk suatu timbal balik antara makrofag dan limfosit, yang menyebabkan makrofag akan bertambah banyak di jaringan dan menyebabkan terbentuknya fokus radang. Selain itu makrofag juga dapat berfusi menjadi sel besar berinti banyak disebut sel Datia.


Selain makrofag, pada peradangan kronik juga ditemukan limfosit, sel plasma, eosinofil dan sel mast. Limfosit-T dan limfosit-B bermigrasi ke tempat radang dengan menggunakan beberapa pasangan molekul adhesi dan kemokin yang serupa dengan molekul yang merekrut monosit. Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik (infeksi) dan peradangan yang diperantarai nonimun (infark atau trauma jaringan). Telah disebutkan di atas bahwa aktivasi limfosit memiliki hubungan dengan aktivasi makrofag, menyebabkan terjadinya fokus radang akibat proliferasi dan akumulasi makrofag di tempat cedera.

 
Copyright © 2010 Farmasis Muda Islami. All rights reserved.
Blogger Template by